Apa Itu RESILIENSI?

3 06 2011

Ada individu yang mampu bertahan dan pulih dari situasi negatif secara efektif, ada pula individu lain yang gagal karena tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah mengalami hal yang tidak menyenangkan atau setelah mengalami tekanan yang berat bukan sebuah keberuntungan, tetapi hal tersebut menggambarkan adanya kemampuan tertentu pada individu yang dikenal dengan istilah resiliensi (Tugade dan Fredrikson, 2001)

Muncul dan berkembangnya pemahaman mengenai resiliensi yang dipelopori telah menciptakan pergeseran paradigma mengenai bagaimana para ilmuwan melihat manusia menghadapi kesulitan atau tantangan. Paradigma lama yang lebih fokus pada kekurangan atau gangguan (pathogenic paradigm) perlahan-lahan mulai digantikan oleh paradigma adaptasi positif, yang fokus pada kekuatan diri (Masten & Coastworth, 1995).

Kata resiliensi sendiri berasal dari bahasa latin abad pertengahan ’resilire’ yang berarti ’kembali’. Dalam bahasa inggris, kata ’resiliency’ atau ’resilient’ biasa digunakan untuk menyebutkan suatu kondisi seseorang yang berhasil kembali dari kondisi terpuruk. Jika dilihat dari asal dan makna kata, maka resiliensi secara umum dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk kembali pada kondisi semula ketika menghadapi tantangan atau kondisi yang terpuruk. (Putrantie, 2008).

Block (1991), memformulasikan pertama kali istilah resiliensi dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal. Secara spesifik, ego-resilience merupakan satu sumber kepribadian yang berfungsi membentuk konteks lingkungan jangka pendek maupun jangka panjang, di mana sumber daya tersebut memungkinkan individu untuk memodifikasi tingkat karakter dan cara mengekspresikan pengendalian ego yang biasa mereka lakukan.

Dalam perjalanannya, terminologi resiliensi mengalami perluasan dalam hal pemaknaan. Diawali dengan penelitian Garmezy dan Rutter (1983, dalam Rutter et.al, 1994) tentang anak-anak yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan. Dua peneliti di atas menggunakan istilah resiliensi sebagai descriptive labels yang mereka gunakan untuk menggambarkan anak-anak yang mampu berfungsi secara baik walaupun mereka hidup dalam lingkungan buruk dan penuh tekanan.

Grotberg (1999), di sisi lain menjelaskan bahwa resiliensi merupakan kapasitas yang bersifat universal dan dengan kapasitas tersebut, individu, kelompok ataupun komunitas mampu mencegah, meminimalisir ataupun melawan pengaruh yang dapat merusak saat mereka mengalami musibah atau kemalangan.

Resiliensi disebut juga oleh Wolin dan Wolin (dalam Bautista, Roldan dan Bascal, 2001 dalam Putrantie, 2008), sebagai keterampilan coping saat dihadapkan pada tantangan hidup atau kapasitas individu untuk tetap sehat mental (wellness) dan terus memperbaiki diri (self repair).

Lazarus (dalam Tugade dan Fredrikson, 2001), menganalogikan resiliensi dengan kelenturan pada logam. Misalnya, besi cetak yang banyak mengandung karbon sangat keras tetapi getas atau mudah patah (tidak resilien) sedangkan besi tempa mengandung sedikit karbon sehingga lunak dan mudah dibentuk sesuai dengan kebutuhan (resilien). Perumpamaan tersebut dapat diterapkan untuk membedakan individu yang memiliki daya tahan dan yang tidak saat dihadapkan pada tekanan psikologis yang dikaitkan dengan pengalaman negatif.

Banaag (2002, dalam Putrantie, 2008), menyatakan bahwa resiliensi adalah suatu proses interaksi antara faktor individual dengan faktor lingkungan. Faktor individual ini berfungsi menahan perusakan diri sendiri dan melakukan kontruksi diri secara positif, sedangkan faktor lingkungan berfungsi untuk melindungi individu dan “melunakkan” kesulitan hidup individu.

Masten dan Coatsworth (dalam Smokowski, 1999), mengatakan bahwa untuk mengidentifikasikan resiliensi diperlukan dua syarat, yaitu yang pertama adanya ancaman yang signifikan pada individu (ancaman berupa status high risk atau ditimpa kemalangan dan trauma yang kronis) dan yang kedua adalah kualitas adaptasi atau perkembangan individu tergolong baik (individu berperilaku dalam compotent manner).

Minat dan perkembangan penelitian mengenai resiliensi yang begitu pesat mendorong munculnya banyak sudut pandang dalam melihat resiliensi salah satunya adalah mengenai definisi. Oleh karena itu, sampai saat ini belum ada sebuah definisi baku yang disepakati untuk mengartikan resiliensi. Meskipun demikian, semua definsi resiliensi yang cukup dikenal saat ini memiliki makna inti yang sama yang tidak terlalu jauh dengan makna asli kata resilensi itu sendiri.

Reivich dan Shatte (2002), menyatakan bahwa resiliensi merupakan kemampuan individu dalam mengatasi, melalui, dan kembali pada kondisi semula setelah mengalami kesulitan. Asumsi dasar dari resiliensi adalah bahwa dalam menghadapi suatu kesulitan atau tantangan, ada individu yang berhasil mengatasinya dengan baik (kembali) dan ada juga yang tidak berhasil.
(sumber: leap institute)





ARTIKEL – WHAT’S ON EARTH Mengapa Ikan di Antartika Tak Membeku?

21 03 2011

Air dingin di Samudera Antartika seharusnya cukup untuk membekukan darah ikan. Namun ikan-ikan di sana tak membeku. Mengapa?

Hal itu berkat antibeku alami yang dimiliki ikan, sehingga memungkinkan darah terus mengalir. Padahal suhu beku Samudera Antartika minus 1,8 derajat Celcius. Suhu ini lebih rendah dari titik beku darah ikan, minus 0,9 derajat C.

Bagaimana ikan mampu terus bergerak di suhu itu, membingungkan peneliti selama lebih dari 50 tahun. Hingga protein perlindungan beku khusus ditemukan dalam darah ikan. Protein antibeku ini bekerja lebih baik dari antibeku rumah.

Namun cara kerja antibeku ini masih belum jelas. Pada pertanyaan kimia, para ilmuwan mempelajari protein antibeku Toothfish Antartika (Dissostichus mawsoni) yang ditangkap salah satu peneliti saat ekspedisi Antartika.

Para ilmuwan menggunakan teknik khusus mencatat gerakan molekul air yang tercampur protein antibeku ikan. Kehadiran protein antibeku ini membuat molekul air menari dengan tarian yang lebih teratur dibanding seharusnya.

Protein antibeku ini menganggu molekul-molekul air sehingga tak bisa terikat dan membentuk kristal es. “Tarian disko itu menjadi minuet,” kata anggota tim studi Martina Havenith dari Ruhr University Bochum di Jerman.

Penelitian ini diterbitkan oleh Journal of American Chemical Society.

Source : http://www.ristek.go.id/?module=News%20News&id=7814





Ecological States and the Resilience of Coral Reefs (Tim McClanahan, Nicholas Polunin, and Terry Done)

1 03 2011

ABSTRACT. We review the evidence for multiple ecological states and the factors that create ecological resilience in coral reef ecosystems. There are natural differences among benthic communities along gradients of water temperature, light, nutrients, and organic matter associated with upwelling-downwelling and onshore-offshore systems. Along gradients from oligotrophy to eutrophy, plant-animal symbioses tend to decrease, and the abundance of algae and heterotrophic suspension feeders and the ratio of organic to inorganic carbon production tend to increase. Human influences such as fishing, increased organic matter and nutrients, sediments, warm water, and transportation of xenobiotics and diseases are common causes of a large number of recently reported ecological shifts. It is often the interaction of persistent and multiple synergistic disturbances that causes permanent ecological transitions, rather than the succession of individual short-term disturbances. For example, fishing can remove top-level predators, resulting in the ecological release of prey such as sea urchins and coral-eating invertebrates. When sea urchins are not common because of unsuitable habitat, recruitment limitations, and diseases, and when overfishing removes herbivorous fish, frondose brown algae can dominate. Terrigenous sediments carried onto reefs as a result of increased soil erosion largely promote the dominance of turf or articulated green algae. Elevated nutrients and organic matter can increase internal eroders of reef substratum and a mixture of filamentous algae. Local conservation actions that attempt to reduce fishing and terrestrial influences promote the high production of inorganic carbon that is necessary for reef growth. However, global climate change threatens to undermine such actions because of increased bleaching and mortality caused by warm-water anomalies, weakened coral skeletons caused by reduced aragonite availability in reef waters, and increased incidence of diseases in coral reef species. Consequently, many coral reefs, including those that are heavily managed, have experienced net losses in accumulated inorganic carbon in recent decades and appear likely to continue this trend in coming decades. Reefs urgently need to be managed with a view to strengthening their resilience to the increased frequency and intensity of these pressures. Ecological targets must include the restoration or maintenance of species diversity, keystone species, spatial heterogeneity, refugia, and connectivity. Achieving these goals will require unprecedented cooperative synergy between human organizations at all political levels, from intergovernmental to local.





Halo dunia!

21 02 2011

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!